wisuda ldr
Fitur Lekat

Wisuda Online, Wisudanya Angkatan LDR

Share this:

Wisuda adalah salah satu momen paling sakral dalam siklus hidup seorang mahasiswa. Dapat dikatakan, garis finish perjuangan kehidupan perkuliahan terletak pada momen ketika rektor memindahkan tali toga dari kiri ke kanan. Namun, sungguh amat sayang, pandemi COVID-19 memaksa seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk menunda atau mengubah metode pelaksanaan wisuda. Setelah sebelumnya kita mengenal adanya kuliah online dan KKN online, kini wisuda pun tak ketinggalan turut dilaksanakan secara online.

Infotembalang telah mewawancarai empat wisudawan tahun 2020 ini, yang menurut Najwa Shihab adalah angkatan LDR. Bagaimana sih pendapat dan kesan mereka terhadap wisuda online? Berikut penuturan mereka.

Angela Shalady, S.H.

Bagi Angela, atau yang akrab dipanggil Enji, wisuda online cukup menyebalkan baginya. Pasalnya, ia telah menanti-nanti momen wisuda sejak lama dan harus pudar begitu saja. Namun, Enji memahami bahwa bagaimanapun juga wisuda online merupakan suatu upaya terbaik dari kampus untuk tetap dapat melepas mahasiswa di tengah situasi saat ini.  

Perlahan, lulusan jurusan Ilmu Hukum UNDIP ini mulai menerima kenyataan bahwa dirinya tak ‘kan pernah merasakan mengenakan toga. Ia mencoba melihat hal-hal positif di balik ini. Salah satunya adalah momen berkumpul bersama keluarga. “Keluarga besarku bisa kumpul bersama-sama denganku ketika wisuda online, dari awal hingga akhir. Mungkin momen seperti itu ngga akan pernah aku rasakan ketika wisuda biasa,” demikian ujarnya.

Enji lantas sedikit menceritakan bagaimana proses wisuda online yang ia alami pada hari Selasa (16/6) kemarin. “Bedanya wisuda online itu ngga ada performance, entah dari mahasiswa atau lainnya. Kemudian, kita akan mengikuti acara wisuda yang dipandu oleh host. Lalu akan ada sambutan dari Rektor dan perkenalan Guru Besar. Ada pula sambutan dari temenku sendiri dan dikasih tahu juga lulusan cum laude dari berbagai fakultas. Nah, pembacaan kelulusan itu cuma lewat slide aja. Ngga ada selebrasi, geser toga, atau apapun itu. Kami juga diwajibkan memakai pakaian putih hitam, Baru deh sehabis itu penutupan,” demikian Enji bercerita.  

Enji juga mengakui bahwa wisuda online ternyata membawanya pada pemikiran bahwa banyak hal yang lebih penting daripada kebaya, make up, photo shoot, dan sebagainya. “Sekarang yang terpenting adalah gimana aku akan melangkahkan kaki setelah ini. Aku jadi sadar untuk mempersiapkan hal-hal sepeutar dunia kerja, seperti mentality, knowledge, dan segala macamnya,” tutur Enji.

Winson G. Sinurat, S.M.

Winson merasa wisuda online adalah wisuda yang sangat-sangat baru dan belum pernah diimplementasikan sebelumnya. Ia menuturkan bahwa tidak ada yang pernah menyangka kalau event sekelas wisuda dapat dilaksanakan secara online.

Sebagai seorang mahasiswa, Winson juga merasakan kekecewaan yang mendalam akibat wisuda online ini. “Kita jadi kehilangan momentum yang kita anggap sebagai hal yang sangat penting. Terlebih lagi wisuda ini akan kita ingat sepanjang hidup kita. Nggak salah dong kalau sebelumnya kita memiliki ekspektasi kalau wisuda yang kita jalani akan sangat wow dan megah serta memberikan pengalaman yang tak kan dilupakan,” tandas Winson.

Meskipun cukup mengejutkan, namun lulusan Manajemen UNDIP ini menyadari bahwa wisuda online adalah sebuah breakthrough. Menurutnya, hal ini karena kita ternyata dapat menggunakan teknologi modern untuk menyelenggarakan kegiatan yang penting. Ia juga kemudian paham bahwa wisuda mau tidak mau harus diselenggarakan secara online demi kebaikan orang banyak. Pun menurutnya esensi dari wisuda juga tidak banyak berubah, karena mahasiswa tetap dapat lulus dengan gelar sarjana yang telah diimpikan selama ini.

Bernadette Violetta K., S.Psi.

Kisah yang cukup serupa turut dialami oleh Vio. Kepada Infotembalang, lulusan Psikologi UGM ini mengaku cukup kecewa harus menjalani wisuda online. “Jujur, berat rasanya harus melalui perayaan hari bahagia ini tanpa seremonial di Grha Sabha Pramana(GSP). Tanpa menggunakan toga, tanpa menggunakan kebaya, tanpa berfoto di Balairung, dan tanpa melihat kedua orang tua ku duduk di Tribun GSP menyaksikan putrinya berhasil memperoleh gelar S.Psi.,” tutur Vio.

Vio padahal ingin sekali hari Rabu, 13 Mei 2020, yang lalu menjadi momen spesial di mana ia merayakan 3,5 tahun perjuangan kuliah. Namun, meskipun pahit untuk dirasakan, Vio berusaha melihat hikmah di balik pandemi COVID-19. Ia belajar bahwa manusia hanya bisa berencana dan berekspektasi, namun pada akhirnya juga harus mampu untuk merelakannya ketika terjadi hal yang tak dapat diubah. “Ikhlas. Ya, itu adalah satu kata yang tepat menggambarkan pelajaran yang aku ambil dari momen wisuda online ini,” ungkap Vio.

Melalui perenungan dan refleksi, Vio sadar bahwa dunia akan tetap berjalan. Dengan segala keterbatasan, Vio mencoba untuk bangkit. Baginya yang terpenting bukanlah seremonial wisuda, melainkan bagaiamana dirinya dapat menggunakan gelar yang diraihnya untuk berkarya dan mengembangkan diri. Kini, Vio tengah mempersiapkan dirinya untuk melanjutkan studi ke jenjang S-2. “Sekarang aku sedang dalam proses menggapai mimpiku untuk menjadi seorang Psikolog,” demikian tutur Vio.

Alberta Cindy, S.M.

Wisuda online ternyata membawa Cindy pada suatu perenungan yang mendalam. Menurutnya, wisuda online adalah suatu hal yang menakjubkan, mengherankan dan menantang.

“Menakjubkan, karena akhirnya semua orang yang tadinya tidak bisa hadir dapat melihat kami secara langsung diwisuda oleh universitas, darimana saja dan pada waktu yang sama. Mengherankan, karena ternyata ini dapat menjadi kenyataan, bukan hanya sekadar wacana teknologi semata. Menantang, jelas karena wisuda online amat sangat menantang ego setiap wisudawan untuk tidak pamer keberhasilan dan pencapaian, karena di sini selebrasi hanya dapat dimaknai di depan layar kaca dengan segala permenungan dan refleksi,” jelas lulusan terbaik UNDIP tahun 2020 ini.

Sama seperti rekan-rekannya yang lain, Cindy tetap berusaha mencari hal positif dari wisuda online. Ia merumuskan setidaknya ada tiga hal yang dapat disyukuri, yaitu atas perkembangan teknologi, hemat dan fleksibel, serta kesetaraan. Ketiga hal tersebut menurutnya cukup sulit disadari olehnya tanpa adanya wisuda online.

Ia juga lantas menemukan bahwa proses perjuangan bertahun-tahun kuliah tidak bertujuan semata-mata hanya untuk diwisuda dan dipuji, namun seberapa dalam kita memaknai gelar dan guna kita melakukan semua proses itu. Ia merasa wisuda online menjadi waktu yang tepat untuk mendekonstruksi semua idealisme awal yang kaku dan tidak adaptif terhadap tuntutan jaman. “Dengan semua kesulitan dan keterbatasan ini, aku tetap percaya bahwa lulusan angkatan 2020 adalah angkatan yang lahir untuk sesuatu yang besar dan dilahirkan untuk berjuang!” tandas mantan mahasiswa Manajemen UNDIP ini dengan penuh keyakinan.

Demikian beberapa kisah dan kesan dari para wisudawan-wisudawati online, guys. Semoga pesan para sarjana hebat ini dapat sampai kepada kalian semua, yaitu, “Jangan pernah menyerah, apapun kondisi dan situasinya, karena harapan akan selalu ada.” Cheers!

Julius Ardiles Brahmantya
Cultural Anthroplogy UGM 2017 | Student, writers | AMDG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *