Esai

Dialek Dialek

Share this:

Orang rela berinvestasi mahal demi pengalaman. Memperkaya jiwa dengan pengalaman baru, menyembuhkan nyawa dengan pengalaman berulang, atau keduanya sekaligus. Melancong bisa jadi opsi populer, tapi untuk Nara yang bulanannya pas-pasan, kenikmatan intim itu tidak perlu receh berlebih.

Hari ini kawan Nara mengundang temu, sepakat adakan sesi obrol berdua atas rekomendasi Nara. Ada gelitik gairah yang teramat dirindukan, bahwa Nara siap melancong jauh selama sesi obrol berlangsung. Sebuah hari libur. Nara bisa pergi ke mana pun dia mau, setiap cerita kawan bicaranya sebagai pemandu, dan afeksi sebagai tiketnya.

Nara akhirnya berkesempatan mencecap dan mengenali lagi dialog berbahasa manusia, dan sedikit-sedikit menggerus kerak yang menggerogoti bilik emosionalnya. Nara sudah menjadi terlalu spiritualis, membuatnya jenuh dan timpang. Namun usai satu jam pertama, Nara cukup kagok menghadapi tur tak terduga.

“Aku enggak masalah dengan ‘tidak-ditanyakan-kabar’, tapi apa susahnya dia ngasih kabar?” Nara merasakan sesuatu meremas jantungnya saat itu. “Kenapa enggak dirimu yang tanya?”, tanya Nara. “Aku enggak mau ngganggu.”

“Bagaimana dirimu berharap seseorang membuka diri padamu kalau dirimu tidak lebih dulu membuka diri pada mereka?”

Tata, atau demikian Nara memanggilnya, mengalami krisis kepercayaan—dan identitas. Tata bersyukur memperoleh cukup afeksi sore itu, dan Nara berterima kasih karena Tata bersedia menerima baik nyaris empat jam investasi waktunya. Mengolah bahasa manusia ternyata jauh lebih sulit dari yang Nara kira, tapi sesuatu yang meremas jantungnya tadi sungguh mengusik. Nara merasakannya sendiri menerobos  masuk lewat setiap indranya, dan terjun bebas ke dalam rongga dadanya.

Nara hanya membatin, berharap kebatinannya dikenali kawan bicaranya ketika Tata sekejap menangkap perubahan gestur—dan psikologis—Nara sesaat Tata melayangkan pertanyaan itu. “Nothing. There’s just another Tata.

Mungkin akhirnya Nara bisa menyaksikan wujud dialog jiwa. Ketika dua kawan bicara berinteraksi dari hati ke hati tanpa sekelumit berbahasa manusia. Dunia awam mengenalnya sebagai telepati, tapi mungkin ini semi telepati. Dipicu konsistensi meditasi batinnya, Nara membuka lagi sejarah emosionalnya, yang entah bagaimana mirip tapi kebalikannya, dengan Tata yang lain.  Recalling itu menghunjam alih-alih permisi.

There’s just another Tata,” yang tidak bisa dikenalinya meski dekat, yang di-dewi-kannya padahal cuman manusia.

Illustration by @coconutday_ (IG)

J. Rendra Trijadi
Rendra kepalang tenggelam dalam dunia sastra sejak tergoda mengisi rubrik cerpen dan puisi bulanan di tabloid sekolahnya semasa SMP. Belasan tahun berselang, Rendra masih menjadi penulis bohemian yang konsisten penyempurnaannya, sambil bergerilya dari acara ke acara, peristiwa ke peristiwa, mendalami perilaku demi perilaku masyarakat sebagai jurnalis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *