Fitur

Tembalang Negeri Seribu Burjo

Share this:

Makan di Warung Burjo (Bubur Kacang Ijo) sambil ngerjain tugas, atau ngobrol ngalor-ngidul sampai subuh bareng temen se-geng emang seru sih. Apalagi di daerah Tembalang yang persebaran Warung Burjo-nya nggak kalah masif dengan pembangunan minimarket. Tapi pernah nggak kita bertanya-tanya kenapa di Tembalang makin banyak Warung Burjo. Atau kenapa yang jualan kebanyakan Aa’ Burjo yang fasih berbahasa sunda, kenapa bukan mas-mas (sebutan untuk orang jawa)?.

Saat ini warung makan burjo sangat mudah ditemukan. Menunya juga makin beragam, tidak hanya bubur kacang ijo, tapi juga berbagai makanan berat seperti nasi magelangan atau mie dok-dok. Saking banyaknya, bahkan ada juga lho salah satu kompleks di Tembalang yang setiap gangnya terdapat satu warung burjo. Terlebih di malam hari ketika lapar melanda, nggak susah deh cari burjo yang buka 24 jam. Berikut ini kita bahas fakta unik tentang fenomena Burjo di Tembalang.

Warung Burjo Pertama di Tembalang

Pak Ewok yang biasa dipanggil “Babe” bersama rekannya, Kang Asep dan Kang Roni, pada tahun 1996 mendirikan warung Burjo yang berlokasi di Jalan Sirajudin, yang dikenal dengan nama Burjo Totem. Nama ini diambil karena awalnya Burjo ini berada di dekat Toko Tembalang (totem). Walaupun sebagai pemilik, Pak Ewok juga sering melayani pembeli loh. Kalau pengen ketemu panggil saja Babe di burjo totem. Sebelum mendirikan burjo totem, mereka awalnya menjadi karyawan biasa di burjo Sriwijaya yang merupakan warung burjo pertama di semarang. Kemudian atas ketekunan dan tekadnya Pak Ewok dan rekan-rekan mendirikan burjo totem.

Ada cerita menarik di awal pendirian Burjo Totem. Sebelum Universitas Diponegoro ekspansi ke daerah Tembalang, wilayah itu masih minim pemukiman sehingga pembelinya pun tidak banyak. Pak Ewok mengatakan sering terjadi tindakan kriminal dari beberapa kelompok pemuda yang tidak bertanggung jawab. Seperti makan dan minum tidak membayar, bermain judi, bahkan sampai teler karena miras. Sehingga saat itu burjo totem tidak berani membuka warung selama 24.

Burjo Original

Awalnya, warung burjo hanya menjual bubur kacang ijo dan indomie saja. Sedangkan menu seperti magelangan, nasi ayam bali, mie dok-dok, dan lain sebagainya merupakan inovasi yang dibuat oleh para penjual sendiri. Saat ini banyak juga ditemui burjo-burjo kekinian seperti burketsu (bubur ketan susu), burjo pancong, burjo manja, dan lain-lain. Dari burjo tersebut mereka memiliki keunikan tersendiri mulai dari tempat yang lebih luas  menyesuaikan gaya millenial, fasilitas yang lebih lengkap, serta memiliki menu andalan. Bahkan warung Burjo saat ini sering juga dipakai untuk rapat, ngerjain tugas, atau hanya sekedar nongkrong.

Menurut Babe, walaupun menu yang disajikan sama saja seperti burjo-burjo yang lain, ternyata fasilitas yang disediakan di burjo juga menjadi hal yang sangat penting buat pelanggan.

Paguyuban Arya Kemuning

Sebagian besar pedagang saling mengenal antara burjo satu dengan yang lain, sehingga terbentuklah paguyuban yang bernama  Arya Kemuning berpusat di Yogyakarta dan memiliki cabang di daerah kota-kota besar yang memiliki burjo. Paguyuban ini dibentuk oleh perusahaan indomie. Kegiatanya sampai sejauh ini ialah  acara bulan jumpa, para pedagang berkumpul pada suatu tempat dan saling bercengkerama. Terkadang Indomie mengadakan kegiatan undian untuk burjo-burjo kemudian diberikan penghargaan atas usahanya. Seperti halnya burjo totem yang mendapat penghargaan sebagai burjo hijau karena usahanya untuk mengumpulkan plastik

Mahasiswa libur, Aa’ burjo libur juga gak ya?

Salah satu strategi beberapa burjo dalam menghadapi penurunan penjualan akibat dunia kampus yang sedang libur ialah menerapkan sistem pemulangan karyawan sampai batas waktu yang ditentukan. Aa’ x diperbolehkan pulang selama satu bulan, kemudian setelah selesai satu bulan Aa’ x wajib balik ke tembalang, setelah itu gantian Aa’ Y yang pulang ke kampung halaman sampai batas waktu yang telah ditentukan. Kepulangan mereka saling bergantian. Biasanya ada sekitar 2-5 karyawan sekali pulang.

Pernikahan Jawa-Sunda

Ada apa sih dengan pernikahan Jawa-Sunda? Hayo siapa yang belum tau tentang mitos dibalik dua etnis yang berbeda ini. Mitos tersebut masih berkaitan dengan Perang Bubat pada tahun 1357 M, kemudian culture yang berbeda antara Jawa dan Sunda mengakibatkan beberapa masyarakat khawatir dengan pernikahan dua etnis tersebut. Nah karena banyaknya pedagang burjo yang berasal dari etnis Sunda kemudian tinggal dan menetap lama di Jawa, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menikah dengan mbak-mbak jawa. Menarik juga ya, udah kayak sejarah masuknya Islam di Indonesia, berawal dari para pedagang yang berlabuh di Indonesia kemudian menetap dengan lama dan akhirnya menikah dengan penduduk setempat.

Tim Penulis: Sakti Edi, Isna Maulida

3 Replies to “Tembalang Negeri Seribu Burjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *