burjo tembalang
Lekat

Pergulatan Aa Burjo Tembalang di Antara Pandemi dan Sepi Pelanggan

Share this:

Aa Jajang berjalan pelan membelah pengunjung yang bisa dihitung jari. Ia menghampiri sebuah kursi panjang, seraya duduk sambil menyalakan rokok yang digenggamnya. Tepat di hadapannya, terdapat sebuah meja bertaplak merah. Di atasnya diletakkan sebuah akuarium yang menjadi hiasan sebuah burjo kecil miliknya.

Di sela hembusan angin yang sekilas melintas, ia pun mengambil sebuah kotak kartu remi yang tergeletak, lantas membagikannya kepada tiga orang. Sambil menghisap rokok, Jajang memandangi kartu di tangannya. Siang itu, di sebuah burjo yang bersebelahan dengan ilalang setinggi orang dewasa, mereka tenggelam dalam permainan.

Awal Mula Perjalanan

Jajang Nurjaman (26) adalah pemilik Burjo Remaja. Sebelumnya, Jajang hanya mengikuti kedua orangtuanya sebagai petani di daerah Kuningan, Jawa Barat. Pada tahun 2008, ketika berusia 14 tahun, Jajang yang saat itu masih terhitung belia, memutuskan untuk ikut merantau bersama kakaknya ke Semarang. Namun, ia masih berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.

Barulah di tahun 2012, setelah Jajang merasa siap, ia mulai menetap di Semarang sebagai pegawai burjo atau biasa mahasiswa sebut “Aa burjo” (aa merupakan panggilan “kakak” dalam Bahasa Sunda). Hingga akhirnya pada tahun 2015, ia bersama kakaknya memutuskan untuk membuka usaha burjo sendiri di Tembalang. Pertimbangannya didasarkan pada lokasi yang menjanjikan. Terlebih, Jajang sudah cukup paham dengan pasar yang ia geluti.

“Awalnya, tahun 2012 kerja (sebagai pegawai Burjo) di Pleburan. Kerja ikut orang lain, tapi pas tahun 2015, kakak buka Burjo sendiri. Jadi daripada ikut orang lain, mending buka usaha sendiri. Uangnya lebih gede,” tutur Jajang

Dekat dengan Mahasiswa

Bagi Jajang, burjo merupakan bagian dari kehidupan mahasiswa. Mahasiswa yang sekadar nongkrong atau mengerjakan tugas sudah menjadi pemandangan yang biasa dilihatnya. Namun, ketika pemerintah mulai memberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) dan perguruan tinggi meniadakan kuliah tatap muka, burjo milik Jajang lebih didominasi oleh pengendara ojek online yang berkumpul untuk istirahat di sela-sela jam kerja.

“Dulu, sebelum corona, paling sepi waktu liburan semester kuliah. Nah, sekarang ini belum musim liburan aja udah pada pulang mahasiswanya.” Ungkapnya

Selama lima tahun menggeluti bisnis ini, wabah Covid-19 diakui Jajang sebagai momen tersulit. Namun, pilihan untuk tetap buka di masa pandemi juga memiliki peluang tersendiri. Aa asli Kuningan ini menyadari mayoritas burjo di Tembalang lebih memilih untuk menutup warung mereka. Sehingga, burjo miliknya secara otomatis menjadi tujuan bagi para masyarakat daerah sekitarnya. Meski cenderung sepi, hal tersebut  menjadi bagian yang patut ia syukuri, pasalnya ia tetap terhidupi oleh usaha ini.

Ia tidak memiliki banyak pilihan, baginya, tetap bertahan di Semarang saat pandemi jauh lebih baik ketimbang dirinya berada di kampung halaman. “Lebih baik di sini (Semarang), kalo balik ke Kuningan, mah, nggak dapet duit,” ungkap Jajang. “Meskipun satu sisi sedih (omset turun), tapi di sisi lain juga bersyukur karena tetap ada pemasukan dari sini (burjo). Lebih banyak bersyukur aja intinya,” tutupnya.

Mempertanyakan Peraturan Pemerintah

Kebijakan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi (Hendi), untuk menjalankan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) tentu berimbas kepada burjo miliknya. Dengan adanya peraturan tersebut, warga di sekitar burjo memilih untuk menutup akses jalan di daerah tersebut dari pukul 23.00. Hal ini mengakibatkan burjo miliknya yang semula buka 24 jam, kini hanya bisa beroperasi sampai jam 12 malam.

Jajang berharap agar peraturan yang dikeluarkan pemerintah kian diperjelas. Ia mempertanyakan peraturan yang telah mengizinkan mall atau tempat rekreasi untuk beroperasi. Menurutnya, hal yang sama juga harus diberlakukan pada sektor pendidikan.

“Pengennya sih, mahasiswa udah boleh kuliah (tatap muka) lagi. Mall aja udah dibuka, masa kuliah enggak?” tanya Aa Jajang. Pertanyaan yang sederhana namun tidak mudah dijawab, bahkan oleh pemerintah sekalipun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *