Esai

Penjajahan Atas Kaum Overthink

Share this:

Hujan mengguyur sejak jam satu pagi. Dua belas jam kemudian pun belum kunjung berhenti dan langit semakin gelap. Grup Whatsapp tetiba penuh dengan laporan banjir lokal di mana-mana. Nara masih meringkuk dalam selimut, belum berniat beranjak.

Satu tahun pasca krisis global, hari-hari Nara jadi lebih pendek. Rutinitas baru di antara dua tidur seakan berlangsung cuman satu kejap. Bahkan tidurnya pun terasa singkat. Wajahnya bengap, bukannya segar. Meski banyak yang diurus, semuanya terjadi intens hanya dalam radius tiga setengah meter. Mobilitas Nara berjarak tempuh dua langkah dari sofa bed ke meja komputernya. Nara tidak banyak bepergian, belum.

Ada pekerjaan administrasi dan laporan ilmiah yang harus segera Nara selesaikan sembari menyiapkan proyek lain bulan depan. Alih-alih bergegas, Nara ketar-ketir menata agendanya. To-do-list tidak pernah bisa berperan baik. Telinganya mendadak bising; kembali merebah hanya membuatnya semakin parah. “Terlalu banyak, terlalu banyak.”

Bising itu seolah menyibak eksistensi isi kepalanya. Lalu lintas impuls saraf di otaknya pasti padat dan ramai sekali saat ini. Nara mengira itu adalah dampak dari dua bulan fokus pada penelitiannya, alih-alih sesuatu yang keliru terus dilakukannya karena menurutnya benar.

Nara sibuk dengan validasi argumen, menenggelamkannya, nyaris ‘membunuh’nya sebelum dia sadari. Batas idealis dan ketakutan menipis. Nara keliru memikirkan yang tidak seharusnya dipikirkan. Inilah pemicu kebisingan fana yang merundungnya, memangkas efisiensi istirahatnya.

Pikirannya adalah satu-satunya yang bisa menjajahnya, dan hanya dia yang mampu membebaskan dirinya sendiri. Tidak siapapun. Namun berontak justru menstimulus pembantaiannya semakin liar. Dalam momen berdiam diri, kecintaan Nara pada renungan pemeriksaan batin bisa cepat menyerang balik titik vital Nara.

Semakin kuat bukti pengaruh penurunan hidupnya mengarah pada kelabilannya sendiri, semakin dia meyakini hal-hal di luar dirinya tidak bisa dikendalikannya. Alhasil semakin yakin Nara menyalahkan dirinya sendiri, dan semakin tertunda perkembangan dan kemajuan bangsa ini, kaum overthink.

Don’t overjudge yourself, Nara. That’s not self-introspection should be like.

Siang berangsur malam. Hiruk pikuk menjelma lingkaran setan. Usai hari-hari tidak berbuat selain mengelilingi ruangan, Nara melakukan penyelamatan terakhir atas rekomendasi seniornya: mandi air hangat. “Ketika tidur tidak bisa jadi istirahatmu, mandilah air hangat.”

Image by @coconutday_

J. Rendra Trijadi
Rendra kepalang tenggelam dalam dunia sastra sejak tergoda mengisi rubrik cerpen dan puisi bulanan di tabloid sekolahnya semasa SMP. Belasan tahun berselang, Rendra masih menjadi penulis bohemian yang konsisten penyempurnaannya, sambil bergerilya dari acara ke acara, peristiwa ke peristiwa, mendalami perilaku demi perilaku masyarakat sebagai jurnalis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *