Esai

Membaca Itu Mendengar

Share this:

Tentang Bagaimana Cara Membaca Dalam Hati

Ketika saya sedang tenggelam membaca novel Jalan Bandungan-nya NH Dini suatu sore, saudara saya berceletuk,”Kok kamu membaca buku? Mau ujian ya?”

Sontak saya terdiam, membeku. Saya sebenarnya mau menjelaskan yang saya baca itu novel, bukan buku kuliah. Tapi saya menahan, sebab tidak mungkin kekesalan ini saya alirkan ke saudara saya secara terang-terangan. Saudara saya juga hanya puncak gunung es dari minimnya literasi yang menggerogoti masyarakat kita. Butuh waktu untuk menjelaskan bahwa membaca itu tidak mulu berarti belajar. Membaca itu juga bisa untuk rekreasi, pelarian, pembebasan, atau bahkan juga pelampiasan. Namun, yang paling mendasar, membaca itu sejatinya mendengar.

Sumber: Unsplash/Pixabay

Belajar Membaca

Di taman kanak-kanak, kita diajarkan untuk membaca. Pertama, huruf vokal dulu, a, i, u, e, o. Setelah itu dikombinasikan dengan konsonan, ba, bi, bu, be, bo. Bersama dengan itu, kita juga dilatih bernyanyi lagu alfabet, agar hafal 26 huruf, A sampai Z.

Dengan menghafal bentuk huruf sekaligus melafalkan bunyinya kita belajar membaca. Guru bersuara untuk melafalkan bunyi huruf atau suku kata itu. Guru pun tahu apakah kita benar atau salah dari pengucapan membaca kita. “Ba” ketika diucap “da” akan disalahkan. Belajar membaca itu tak mulu menggunakan mata, telingalah yang utama bekerja untuk menangkap segala bunyi yang ada. Sebab pada hakikatnya, tulisan sendiri, tiap katanya, tiap hurufnya, adalah suara, bukan pola visual abstrak. Kita belajar membaca dengan mendengarkan terlebih dahulu. Buku yang pertama kita baca, pastilah buku latihan membaca, yang tiap suku katanya katam kita ucapkan keras-keras agar hafal. Sekarang kita sudah hafal, tak perlu melafalkan, tapi tetap saja kita masih mendengar dalam hati tiap suku kata yang kita baca, termasuk saat membaca tulisan ini.

Saat beranjak ke sekolah dasar, kita dikenalkan dengan buku pelajaran. Baru saja kita bisa membaca, kita disuguhi buku yang berisi beragam persoalan dan masalah. Buku latihan yang harus kita kerjakan secara benar, kalau tidak, kita bisa ditinggal teman-teman kita saat naik kelas. Tentu saat ini juga kita dapat buku cerita. Tapi seringkali buku cerita itu berubah wujud menjadi soal di ulangan yang harus kita jawab setelah membaca. Tak jarang juga, buku itu juga berubah wujud jadi jari telunjuk guru yang menunjuk kita maju dan menceritakan ulang apa yang dibaca. Buku-buku inilah, yang agaknya mengintimidasi diri kita yang masih belia untuk membaca buku. Sebab, membaca buku kita asosiasikan dengan soal-soal yang sulit dan harus dijawab benar. Kalau salah, bisa jadi kita akan dimarahi guru atau orang tua.

Di sekolah dasar juga, kita belajar untuk membaca dalam hati, setelah sebelumnya kita selalu mengeja apa yang kita baca dengan mulut. Awalnya, susah sekali untuk membaca tanpa bersuara. Perlu konsentrasi yang tinggi. Saya ketika kecil kagum kepada orang yang datang ke perpustakaan. Bagaimana bisa perpustakaan menjadi tempat paling sunyi, kalau membaca itu lebih nyaman jika diucapkan daripada diam saja. Seharusnya, perpustakaan menjadi tempat paling bising di sekolah. Namun, melihat kakak kelas bisa membaca sambil “diam”, saya dan teman-teman pun berusaha berlatih membaca dalam hati. Di posisi ini juga, anak-anak yang secara alamiah suka bermain sambil bersorak dan bernyanyi, mengidentikkan buku dengan sikap serius dan konsentrasi tinggi.

Hal-hal itulah yang kita dapatkan dari sekolah dasar dan membentuk persepsi kebanyakan orang bahwa membaca itu aktivitas yang sulit, serius, dan membosankan. Membaca dimaknai sama dengan belajar, untuk ulangan, agar dapat nilai bagus. Kita lupa dan bahkan tidak diarahkan untuk kembali ke awal, bahwa membaca itu hakikatnya mendengarkan suara, bukan menyelesaikan masalah. Trauma ini juga yang membuat orang enggan membaca ketika sudah besar, sebab dalam sanubarinya masih tertanam perspektif kalau membaca itu kewajiban, bukan aktivitas menyenangkan.

Belajar Mendengar

Berbeda dengan membaca, kita sudah belajar mendengar sejak lahir. Sejak bayi, kita belajar mendengar tanpa kita sadari. Kita pun juga melafalkan yang kita dengar melalui lidah cilik kita yang belum luwes. Jika kita salah mengucap, orang-orang sekitar kita justru tertawa. Kita juga ikut bahagia melihat tawa dan senyum orang sekitar kita. Kita belajar mendengar dalam atmosfer cinta. Tidak ada tuntutan untuk segera bisa. Kalaupun dinilai, nilai kita selalu baik di mata orang tua, selambat apapun proses belajar mendengar dan berbicara kita.

Ada waktu transisi untuk menjelajah dunia terlebih dahulu, sebelum kita dididik untuk mendengarkan petuah yang lebih serius. Anak-anak diberi kebebasan dulu untuk mendengarkan jawaban atas segala keingintahuannya. Mereka tak takut salah, sebab belum ada tekanan yang berarti. Inilah yang membuat anak bebas menyuarakan isi hatinya, bebas bersorak, dan menceritakan apapun yang ada di pikirannya.

Kahlil Gibran pernah berkata,”Sesudah makan dan minum, kebutuhan paling pokok manusia adalah mendengar cerita.”

Sampai dewasa pun kesenangan kita dalam bercerita dan mendengar cerita masih terpatri. Kita makhluk sosial yang butuh mendengar, walau yang kita dengar belum tentu benar. Sama seperti anak-anak, kita menceritakan isi hati kita kepada orang yang kita percaya dan kita cintai. Telinga kita terbuka untuk para sahabat hingga kerabat.

Mendengar memang asyik, tapi sangat terbatas. Batasannya adalah orang yang bisa kita dengar adalah orang yang pernah kita temui saja. Tentu dengan adanya internet, kita juga dapat menemui dan mendengar orang dari berbagai belahan dunia. Namun seringkali, apa yang diucapkan orang bukan merupakan artikulasi jernih dari apa yang dipikirkannya. Ada yang tersisa, tersirat, atau mungkin tidak sempat, sebab saat itu si pencerita belum menemukan kata yang tepat.

Mereka yang mau berbicara tapi tak sempat atau bahkan tak mendapat tempat inilah, yang acapkali akan menulis. Iya, menulis pada dasarnya juga berbicara, bercerita, curhat. Saya pikir, Bung Hatta tak mungkin akan menyelesaikan tulisan otobiografinya Untuk Negeriku yang berlembar-lembar, jika pada dasarnya dia tak mau curhat. Bahkan, Bung Karno pun yang sudah “banyak berbicara” di podium, juga tak kalah banyak menghasilkan tulisan. Mereka menyimpan banyak cerita yang sangat menarik untuk didengar, kalau saja kita mau mendengar. Dan membaca adalah salah satu cara paling canggih untuk mendengar.

Dalam biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia misalnya, Soekarno bercerita tentang jatuh cinta pertamanya:

Cara yang paling baik untuk menjelaskan arti dari pendidikan Barat dan bagaimana Bapak telah bersusah-payah mengorbankan uang, prinsip dan segala sesuatu untuk itu, adalah dengan menceritakan kisah cintaku yang pertama.

Aku berumur 14 tahun dan hatiku telah tertambat pada Rika Meelhuysen, seorang gadis Belanda. Rika adalah gadis pertama yang kucium. Dan, harus kuakui, bahwa aku sangat gugup pada waktu itu. Sejak itu aku lebih ahli dalam hal ini … Aku selalu ‘kebetulan’ berada di mana dia ada. Percintaan ini kusimpan baik-baik dalam hatiku. Aku tak pernah bercerita pada siapa pun. Takut ketahuan orang tuaku. Aku merasa yakin Bapak akan marah besar kepadaku bila mendengar aku berpacaran dengan gadis kulit putih.

Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia hal. 36

Mendengarkan kisah cinta monyet semacam ini saja tak pernah ada habisnya, apalagi mendengarkan segala kegugupan Soekarno saat Jepang datang, dilemma Bung Hatta harus memilih politik atau menyelesaikan kuliah, curhatan single parent yang ditulis dalam novel NH Dini, kenekatan Elon Musk dalam berbisnis, hingga bagaimana Cak Nun memaknai pandemi ini.

Membaca sebenarnya bukan untuk memecahkan soal sulit. Membaca itu sesederhana mendengarkan curhatan teman. Mengenal mindset orang-orang yang lebih kaya pengalaman dari kita. Tentu, ketika kumpul dengan teman, kita bisa berbagi pengalaman, mendengarkan segala keluh kesahnya. Tapi dengan membaca, teman yang berbagi pengalaman dengan kita bisa saja merupakan tokoh agama, sejarawan, pemimpin negara, pengusaha, penyair, dan apapun profesinya, pasti ada bukunya. Bukan hanya yang masih hidup, namun juga yang telah beratus tahun meninggal. Apabila tulisannya masih ada, kita masih bisa mendengarkannya.

Membaca dalam Hati

Tekanan yang kita dapat sejak awal belajar membaca menciptakan tembok penghalang bagi kita untuk membaca buku. Buku-buku pertama kita membuat first impression kita jelek terhadap buku secara umum. Padahal kebanyakan buku tak berisi informasi yang kering dan susah dimengerti. Sebaliknya buku adalah semesta curhat sahabat kita dari tempat dan zaman berbeda. Sahabat yang sama-sama manusia dan mau bercerita. Sesusah apapun topik buku itu, selalu ada sentuhan personal dan emosional penulisnya, yang menjadikan tiap buku memiliki rasa tersendiri. Ketika kita berusaha melawan asumsi kita tentang buku, mencoba membaca untuk mendengar, kita akan menemukan berjuta cerita yang kita harap kita tahu sebelumnya.

“Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta!” begitu cuitan Najwa Shihab sebagai Duta Baca Indonesia.

Hal ini membawa saya kembali ke masa lalu, saat saya sedang latihan membaca dalam hati di perpustakaan. Saya sekarang menyadari bahwa sebenarnya perpustakaan adalah tempat paling bising, karena berisi ratusan kisah menarik yang bisa didengarkan. Selanjutnya, saya kira istilah “membaca dalam hati” ini sentimental juga. Sebab membaca berarti mau mendengar dan menyelam ke hati terdalam penulis, sekaligus menggali seberapa dalam hati kita bisa bersimpati dengannya. Kalau awalnya tak membuka hati untuk mendengar, bagaimana bisa kita masuk ke dalam hati?

Jika teman-teman sudah membaca sampai kalimat ini, terima kasih sudah mendengarkan suara saya. Selamat mendengarkan (membaca) kisah-kisah lainnya! Saya Evan, pamit undur diri. Salam olahraga!

Referensi

Quote Kahlil Gibran dari Ceramah oleh Peter Carey. Ratu Adil Dalam Pusaran Politik Indonesia Modern di kanal Youtube Salihara Arts Center (https://www.youtube.com/watch?v=7yxd_9SZRl8)
Quote Najwa Shihab dari akun Twitter @NajwaShihab (https://twitter.com/NajwaShihab/status/1129310273620402176)
Adams, Cindy. 2007. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno.

Penulis:

Evan Dewangga
@vandewangga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *