Tembalangan

Fakultas Hukum Undip: Pionir Ilmu Hukum di Jawa Tengah

Share this:

Fakultas hukum yang berdiri di Universitas Diponegoro (Undip) saat ini adalah fakultas pertama sekaligus pionir ilmu hukum di Jawa Tengah. Penasaran bagaimana ceritanya? Kali ini Infotembalang berkesempatan berbincang dengan salah satu saksi berdirinya Undip, yaitu Budhi Wisaksono yang juga merupakan salah satu putra pendiri Undip, yakni Prof. Soedarto. Melalui kesaksian beliau, Kanca Tembalang akan diajak mengulik fakta-fakta dibalik berdirinya fakultas pertama di Undip ini.

Dinamakan Universitas Semarang pada Tahun 1957

Universitas Semarang yang kini dinamakan sebagai Universitas Diponegoro mendapat pengakuan dari pemerintah melalui surat permohonan yang diserahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada tahun 1957. Keterbatasan perguruan tinggi di Semarang saat itu menjadi salah satu alasan didirikannya Universitas Semarang. “Bermodal seratus ribu rupiah, bapak saya dan teman-teman jaksanya mendirikan Yayasan,” tutur Budhi yang juga merupakan dosen kriminologi, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (Undip).

Seiring berjalannya waktu Universitas Semarang diganti dengan nama Universitas Diponegoto sekaligus di-negeri-kan. Diresmikannya pendirian universitas tersebut, fakultas hukum menjadi fakultas pertama yang dibangun di Universitas Diponegoro dengan persetujuan dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah. Berdirinya fakultas hukum segera disusul dengan Akademi Administrasi Negara, Akademi Tata Niaga dan Akademi Teknik. Adapun fakultas yang diprioritaskan setelah hukum adalah ekonomi, teknik, dan ilmu pendidikan (IKIP).

Prof. Soedarto Seorang Jaksa yang Memiliki Passion Pendidik

Fakultas Hukum Undip Kampus Pleburan, saksi bisu perjuangan Prof. Soedarto.

Menjabat sebagai Ketua Pengadilan Kejaksaan Negeri Semarang sekaligus merangkap pengawas kejasaan di seluruh Jawa Tengah, Budhi mengakui bahwa bapaknya adalah orang yang sangat cerdas. Passion pendidik yang dimiliki oleh bapaknya mulai disadari Budhi ketika ia melihat gambaran foto bapaknya yang sangat kurus saat menjabat menjadi seorang jaksa dan menjadi gemuk ketika membangun Undip.

“Ternyata passion bapak itu sebagai pendidik, jadi bapak itu ingin memperbaiki hukum Indonesia itu dari segi pendidikannya. Karena kalau melalui keputusan-keputusan jaksa itu kan gaungnya sedikit,” ujar Budhi yang juga merupakan pengajar di Akademi Kepolisian Semarang.

Melihat hal tersebut, Budhi pun berniat untuk menjadi seorang dosen seperti bapaknya. Ketika menjalani masa mahasiswa, ia berusaha untuk mendapat pengakuan dari bapaknya yang kala itu menjadi dosen pembimbing skripsinya. Di samping itu, profesi sebagai dosen sempat dijadikannya sebagai batu loncatan untuk menjadi pamong praja, bupati atau walikota. Namun setelah menyadari dinamika perpolitikan yang terjadi, Budhi perlahan mengubur keinginan tersebut. Tak kalah penting, alasannya untuk mendaftar menjadi seorang dosen adalah karena jam kerja yang fleksibel sehingga ia bisa membuka usaha dan melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan minatnya, seperti melukis dan membatik.

Minat Ilmu Hukum yang Tinggi

Selaras dengan perkembangan minat akan ilmu hukum, bantuan yang datang untuk mengisi kebutuhan tenaga pendidik pun semakin mengalir deras. Mulai dari kalangan Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, ataupun Advokat. Sehingga, dengan adanya sumber daya ini, ilmu hukum perlahan namun pasti mengembangkan potensinya. Pengaruh kuat dari fakultas hukum kala itu sangat terasa di kalangan masyarakat. Pasalnya mahasiswa lulusan hukum Undip saat itu mendapat banyak pengakuan karena memperoleh kader dari Prof. Soedarto. “Penerapan administrasi pun sangat tertib karena pengaruh fakultas hukum dari bapak saya,” sahut Budhi yang juga guru karate di beberapa kota besar.

Tetapi untuk masa sekarang, Budhi merasa bahwa situasi sudah jauh berbeda. Kebijakan “kejar target” untuk kepentingan akreditasi semata sering diamatinya. Menurut Budhi, banyak sekali yang ingin masuk ke Fakultas Hukum Undip, padahal jurusan hukum pidana saat itu terbilang belum cukup berkualitas. Hingga suatu ketika, Fakultas Hukum pernah menerima mahasiswa dengan jumlah fantastis, yakni 840 mahasiswa, semata-mata karena berorientasikan uang.

“Sekarang, jujur saya kecewa sebagai anaknya pendiri. Jadinya kok hanya seperti ini (meluluskan yang tidak seharusnya lulus). Saya kecewa,” ungkapnya.

Begitu pun dengan pembangunan Undip yang ingin dimanfaatkan oleh tangan-tangan nakal dan ditolak keras oleh Prof. Soedarto.  Konsistensi tersebut terus dibawa hingga saat beliau tutup usia pada tahun 1986 setelah menjabat sebagai rektor Undip sebanyak dua kali. “Jadi memang hidupnya untuk pengabdian kepada Undip saja. Untuk itu, perjuangan bapak sangat luar biasa,” kenang Budhi dengan mata berkaca-kaca.

Kasih Sayang Seorang Bapak

Budhi mengatakan bahwa hal terpenting yang dibawa oleh bapaknya adalah kasih sayang meski memiliki sifat keras. Pernah suatu ketika ada beberapa mahasiswa yang membuat keributan saat beliau sedang pidato pada acara penerimaan mahasiswa baru. Mahasiswa tersebut kemudian hendak dikeluarkan, namun Pak Darto — panggilan Prof. Soedarto — menolak karena beliau menganggap dia sebagai anaknya.

Adapun bantuan finansial yang diberikan berbagai pihak dengan maksud dan tujuan tertentu semasa pembangunan Undip langsung diterima oleh sekretaris Pak Darto. Kemudian, atas perintah Pak Darto, bantuan tersebut diberikan kepada mahasiswa yang hampir putus kuliah karena belum membayar uang kuliah dan untuk para dosen yang membutuhkan. “Saya ingin Undip seperti itu, tapi sekarang tidak seperti itu lagi. Kita kehilangan seorang bapak,” tegas dosen sekaligus seniman ini.

Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa Fakultas Hukum Undip mendapat banyak dukungan sekaligus tantangan yang pelik dari berbagai pihak. Dengan perjuangan dan pengorbanan para pendiri, terutama Prof. Soedarto, Fakultas Hukum menjelma menjadi fakultas kebanggaan Undip serta pionir ilmu hukum di area Jawa Tengah.

Utamakan dan perbaiki sikap moral terlebih dahulu. Saya percaya bahwa pekerjaan batin tidak mungkin mengganggu pekerjaan lain. Sebaliknya, pekerjaan lahir bisa mengganggu pekerjaan lain. Kewajiban mahasiswa ya belajar, tapi yang pertama yaitu moral untuk orang lain, jangan untuk diri sendiri. Apa gunanya ilmu hukum kalau belum bisa menerapkan itu?

-Budhi Wisaksono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *