Foto Paino si Supir Angkot
Lekat

Kami Ngobrol Dengan Paino, Supir Angkot Kuning yang Masih (Mencoba) Bertahan

Share this:

Bumi Tembalang memulai harinya seperti biasa, begitu juga dengan masyarakatnya. Namun, beberapa tempat tampak lebih sepi dari seharusnya. Tak terkecuali kawasan ruko di ujung muka Jl. Ngesrep, dekat Patung Diponegoro. Hanya ada segelintir angkutan kota (angkot) kuning yang terlihat “berlabuh” di tempat pangkalan angkot itu berada. Paino adalah salah satu nahkoda “Si Kuning” itu. Sembari sesekali menghela nafas berat, ia menceritakan kisah kesehariannya sebagai seorang supir angkot kuning kepada kami.

Manis Pahit Menjadi Supir Angkot

Paino memutuskan untuk berprofesi sebagai supir angkot kuning sejak awal tahun 1990. Saat itu tingkat kebutuhan masyarakat akan moda transportasi umum masih sangat tinggi. Ia kemudian memberanikan diri membeli satu buah mobil angkot.

Baginya, angkot adalah mata air kehidupan sehari-hari keluarganya. Sudah hampir 30 tahun ia menggeluti pekerjaan sebagai supir angkot guna menafkahi keluarga kecilnya. Setelah menikah dengan sang istri, ia menetapkan hati untuk tinggal di Tembalang dan bekerja sebagai supir angkot kuning.

Tidak berjuang sendiri, sang istri juga turut membantu Paino dalam urusan ekonomi keluarga. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga yang jam kerjanya juga tak jauh berbeda dengan sang suami. Berangkat pagi pulang sore adalah rutinitas harian pasangan ini.

Paino kini bisa bernafas agak lega karena anak-anaknya sudah mulai beranjak dewasa. Terlebih lagi, kedua anak mereka telah mandiri secara finansial. Sedangkan anak bungsunya saat ini masih menyabung nasib dengan merantau ke Ibu kota.

“Saya prihatin dengan teman-teman yang punya anak (usia) sekolah. Pasti butuh biaya banyak, (tapi) cari uang ke mana? Anak sekolah itu kan tiap hari harus ada uang. Beruntungnya, anak saya hampir semua sudah lepas,” ucap Paino.

Keluh Kesah Paino

Pria yang bertempat tinggal di Jl. Tirto Agung itu mengaku bahwa peminat angkot kuning sudah tak sama seperti dulu lagi. Kenyataan itu terasa semakin pahit karena dampak pandemi yang sangat terasa pada pekerjaannya.

Efek paling “mematikan” dari pandemi ini adalah menurunnya kebutuhan hilir mudik warga. Hal ini benar-benar menyurutkan arus rejeki Paino. Penghasilannya dalam sehari saja kadang belum tentu cukup untuk menutupi biaya bahan bakar. “Kemarin saya cuma dapat satu penumpang dan itu harus nunggu sampai jam 11.00,” jelasnya.

Menghadapi kemelut semacam ini, ia kerap kali mempertanyakan di mana turut andil pemerintah.”Yang sudah ada itu tetap dibenahi. Online masuk juga nggapapa, cuma jangan jadi tumpang tindih gini. Serba susah, apalagi kalau ada corona gini. Bisa makan ya bersyukur” keluh Paino.

Bagaimanapun keadaannya, Paino sebagai kepala rumah tangga sadar betul bahwa ia memiliki tanggung jawab yang besar dalam menghidupi keluarganya. Walau begitu, jika ditanya mengapa tidak bergabung dengan transportasi online, dirinya mengaku kurang nyaman dengan sistem kerjanya. Maka dari itu, sampai saat ini ia masih bertahan sebagai supir angkot kuning.

Itu dia sekelumit kisah dari Paino sebagai supir angkot kuning yang biasanya lalu lalang di jalanan. Pandemi membuat banyak pihak merasa putus asa, tapi tidak dengan Paino dengan kegigihannya. Ia mampu bertahan sekaligus berjuang menghadapi bencana yang sama-sama kita hadapi ini. Adalah hal yang baik jika kita bisa meniru semangat gigih Paino ini ya, Kanca Tembalang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *