Tembalangan

Ketoprak Srimulyo: Habituasi Seni di Jurang Blimbing Tembalang

Share this:

Kanca Tembalang, penasaran nggak sih tembalang yang dulu seperti apa? Atau ada yang pernah denger dulu tembalang terkenal dengan desa seninya ? iyap, benar sekali dulunya Tembalang merupakan kampung seni yang cukup berkembang pesat. Banyak sekali loh seniman-seniman yang dulunya tinggal di Tembalang. Kalau kamu adalah orang yang baru datang ke tembalang, pasti akan  bertanya-tanya, sekarang kok hanya tinggal kos-kosan dan sederet kafe di sepanjang jalan kenangan, eh sepanjang jalan deng.

Jadi seperti ini ceritanya, sejak berdirinya Universitas Diponegoro (Undip), para seniman yang berada di area Tembalang sering berpindah tempat. Meskipun begitu, sebagian ada yang tetap bertahan di sekitar kampus Undip. Salah satu kawasan pedesaan yang masih menjadi tempat berkumpulnya para seniman ialah kampung Jurang Blimbing atau yang lebih dikenal sebagai “Jurbel”. Pasti mahasiswa Fakultas Kedokteran Undip tahu nih karena lokasinya berada di sebelah timur dari kampusnya. Ketika berkunjung ke sana kita akan disambut oleh gapura yang terbuat dari kayu bambu bertuliskan Desa Seni Budaya Jurang Blimbing. Dari namanya sendiri saja sudah terbayang-bayang, apa mungkin desa ini kaya akan aktivitas seni? Nah, setelah berjalan melewati gang-gang, kita akan menemukan semacam pendapa yang berada di tengah desa. Pendapa itu berfungsi sebagai media pagelaran seni. Salah satu kesenian yang masih bertahan dan mengalami habituasi atau bentuk penyesuaian untuk menghadapi tantangan zaman adalah ketoprak Srimulyo.

Ketoprak Srimulyo Dulu dan Sekarang

Sejak dulu masyarakat Jurbel gemar berkesenian, sehingga beranekaragam aktivitas seni dapat ditemukan di sini, yang paling populer adalah ketoprak dan jaran kepang. Keduanya dapat diterima dengan mudah oleh semua kalangan masyarakat Jurbel. Ketoprak Srimulyo yang sekarang berbeda dengan ketoprak zaman dahulu, ditandai oleh pemain ketoprak yang lebih dominan generasi muda. Hal ini dilakukan agar pemuda zaman sekarang lebih mengenal kesenianya. Tokoh desa di daerah Jurbel mengaku khawatir kepada generasi muda yang acuh tak acuh dengan kesenian lokal, karena di tangan generasi mudalah kesenian lokal seharusnya selalu lestari. Pada zaman dahulu, pementasan ketoprak juga lebih sering dilakukan, bahkan sampai empat kali tampil dalam satu bulan, sedangkan sekarang pementasan ketoprak hanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu saja. Seperti dalam acara peringatan hari-hari besar, misalnya HUT RI  atau ketika masyarakat sekitar sedang mengadakan hajatan. Menariknya ketoprak juga menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang dapat diandalkan oleh masyarakat setempat.

Tangan Dingin Mbah Gimin Di Balik Ketoprak Srimulyo

Di Desa Jurang Blimbing terdapat tokoh bernama Mbah Gimin, beliau telah banyak mengalami fase perubahan zaman di desa tersebut. Mbah Gimin merupakan pelatih sekaligus penulis naskah dari pementasan Ketoprak Srimulyo. Pasti  Kanca Tembalang tahu nih, naskah yang digunakan dalam pementasan ketoprak tentunya berbeda dari naskah drama yang lain, salah satu perbedaan mencolok pada naskah ketoprak ialah dominasi penggunaan Bahasa Jawa, dan penyesuaian adegan-adegan yang harus tepat beriringan dengan alunan musik dari piranthi gamelan. Saat ini para pemain yang berasal dari kalangan muda berlatih secara kondisional. Jadi jika ada undangan untuk tampil, maka mereka akan berlatih, tidak terlalu sering seperti dahulu kala. Pementasan ketoprak juga diselingi Tari Gambyong. Sebelum dilaksanakan pementasan, terlebih dahulu dilakukan ritual berupa pemberian sesaji berisikan jajanan pasar dan kemenyan. Selanjutnya pembacaan mantra yang dilakukan oleh Mbah Gimin.

Nah untuk mampu bertahan sampai sekarang, tentunya Ketoprak Srimulyo membutuhkan upaya-upaya inovatif agar bisa beradaptasi. Bentuknya lebih fokus pada penulisan cerita naskah yang berisikan kondisi kehidupan masyarakat setempat. Tidak melulu bercerita tentang legenda zaman dahulu. Kemudian dari segi tata rias,  para pemain ketoprak biasanya menghadirkan perias profesional untuk penampilan yang lebih bagus. Oleh karena itu, pementasan ketoprak cukup menguras kantong dalam sekali pertunjukan, sehingga mereka menargetkan biaya pementasan.

Saat ini eksistensi kesenian di Desa Jurbel ingin dibangkitkan dan diperkuat kembali, berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang yang menjadikanya sebagai desa tematik. Selain itu, program KKN Undip yang dilakukan setiap dua kali dalam setahun turut serta melibatkan Desa Jurbel sebagai salah satu sasaran dalam bidang pengabdian.  Mbah Gimin selaku tokoh desa juga sangat mengharapkan tindakan nyata dari kaum muda untuk terus melestarikan kesenian ini, bahkan Mbah Gimin menawarkan secara gratis kepada anak-anak muda kalau ingin belajar ketoprak maupun  alat-alat gamelan lainya. Jika kita berkunjung ke sana, Mbah Gimin dengan senang hati akan mengajarkanya. Pasti seru sekali kan bisa turut melestarikan kesenian lokal dengan penuh inovasi. Apa rela kesenian lokal mulai dilupakan?

referensi: http://tembalang.semarangkota.go.id/en/potensiwilayah/kampungtematik
instagram @jurangblimbing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *