new normal
Fitur

New Normal: Dari Rumah, Kita Melanjutkan Kehidupan

Share this:

Sekali waktu manusia secara masif dipaksa rehat dari hiruk-pikuk kesibukan duniawinya. Roda mendadak melambat, tapi tetap berputar. Hidup tetap harus berlanjut, dengan atau tanpa wabah, atau kehancuran massal mungkin terjadi di mana-mana. Indonesia sementara akan tetap jadi Indonesia dengan “Terserah! Suka-suka kalian saja”. Sepersekian dari semuanya berlanjut cukup dari rumah.

Alih-alih mestinya sedikit senang enggak perlu ngampus atau berangkat kerja, orang-orang mendapati diri mereka malah merasa cepat lelah dan stres. Sebagai makhluk sosial, mengalami minim interaksi langsung dengan manusia-manusia lain akibat keputusan pembatasan sosial yang disengaja jelas bikin frustasi. Pasalnya, fenomena keseharian di rumah yang tetiba justru terasa lebih sibuk dari biasanya juga dirasakan sejumlah public figure.

“Pekerjaan Rumah”

Pagebluk COVID-19 pada akhirnya memaksa sejumlah orang membawa pulang nyaris seluruh pekerjaan kantor. “Pekerjaan Rumah” ini nyata-nyatanya mengubah total pemahaman tradisional kita tentang tempat kerja. Namun demikian, ide bekerja dari rumah sebenarnya sudah ada sebelum abad ke-19. Gagasan ini muncul melalui pendekatan berbeda sistem produksi industri yang mulai memedulikan motivasi positif pekerjanya. Tujuannya agar pekerjaan yang diberikan bisa terselesaikan secara lebih efisien, terutama dari segi waktu dan biaya. Perubahan paradigma tersebut mengadaptasi konsep modern soal ergonomi, empati, motivasi, kualitas, dan fleksibilitas, alih-alih melulu menyoalkan kuantitas.

“The belief is shared by all that the design of studios or office has an enormous influence on the concentration, performance and wellbeing of people. It is known (something we experience daily) that our environment has a profound effect on the way we live, work, and get on with others at all times.”

Kutipan barusan dari Institut Monsa menegaskan kalau lingkungan adalah faktor eksternal yang kuat mempengaruhi cara kita bekerja, berkegiatan dan menghadapi hidup setiap saat. Keyakinan ini lantas diwujudkan dalam konsep Small Office Home Office (SOHO) atau selanjutnya berkembang menjadi Work Office Home Office (WOHO). SOHO dan WOHO berangkat dari studi kasus seniman bohemian modern dan sejumlah profesional dengan kecenderungan mudah dan cepat memperoleh inspirasi dari lingkungan yang intim dan personal, salah satunya rumah.

SOHO berbeda dengan WOHO. SOHO pada intinya menciptakan ruang baru di rumah sebagai tempat kerja untuk memangkas mobilisasi pekerja baik fisik maupun psikis. Kita bisa dengan mudah tetap mengawasi pekerjaan selagi mengerjakan aktivitas rumahan. Sementara WOHO sendiri adalah konsep hunian 2 lantai yang membatasi lantai terbawah dikhususkan sebagai kantor, sedangkan lantai teratas untuk tempat tinggal. Tren home office kebetulan kurang populer di Indonesia, meski dalam situasi pandemi belum terlalu diusung jadi topik hangat. Dalam 1 sampai 5 tahun terakhir, tren pencarian terkait SOHO di urutan 5 teratas paling banyak ada di Amerika Serikat, Afrika Selatan, Kanada, Australia, lalu disusul Inggris Raya.

Mencipta Batas dalam Keterbatasan

Kalau bekerja dari rumah harapannya bisa meningkatkan produktivitas dengan asumsi lebih nyaman ada di rumah, dan bisa bikin kita lebih bahagia dalam bekerja, lalu kenapa kita, Smartizen, cepat merasa lelah alih-alih mendorong diri sendiri buat tetap produktif? Simpel, karena rumah atau kediaman kita tidak didesain sebagai tempat kerja. Sebaik-baiknya hunian yang sekarang adalah sebagai tempat tinggal, tempat pulang, dan tempat istirahat.

Monsa mengklasifikasikannya sebagai bekerja di rumah (working at home) atau tinggal di kantor (living at office). Esensi dari home office adalah tersedianya ruang yang nyaman serasa kita betah untuk bekerja baik di rumah atau kantor (dalam arti sebenarnya) dan bisa cepat memulihkan lelah berlebih; memiliki ruang yang dirasa cukup normal menjadi penengah atau penetralisir chaos saat bekerja, senada dengan Bogage.

Bogage selanjutnya dalam The Washington Post membeberkan sejumlah besar pekerja di Amerika Serikat mau tidak mau mengalih-fungsikan desain interior kamar dan merombak sebagian perabot ruang di rumah menjadi pusat produktivitas mereka alih-alih beberapa perusahaan merasa sudah selayaknya bertanggung jawab membantu karyawan-karyawatinya tetap produktif meski di rumah. Walau begitu, perlu adanya batas ruang yang tegas untuk memisahkan urusan pribadi (makan, tidur, istirahat) dengan urusan kantor atau kampus yang mungkin memeras otak, seperti dilansir Herrman dalam New York Times. Di satu sisi, batas ruang yang jelas membantu kita fokus dengan apa yang sedang kita lakukan dan apa yang ada di hadapan kita secara sadar, karena di rumah, distraksi atau pengalih perhatiannya bisa banyak sekali.

Selain menghendaki secara visual ruang kerja yang ideal menurut kita, fokus pada postur tubuh yang nyaman untuk bekerja tidak boleh luput dari perhatian. Preferensi tiap orang bisa berbeda, Smartizen barangkali ada yang bisa produktif optimal cukup sambil rebahan, lesehan di lantai, atau benar-benar butuh sofa empuk. Postur tubuh yang kurang ergonomis pasalnya bisa jadi salah satu pemicu cepat lelah tadi.

Referensi:
Bogage, Jacob. (2020, April 8). All the comforts of the office, at home: Remoteworkers snapping up desks, webcams and lamps. Diakses dari The Washington Post https://www.washingtonpost.com/business/2020/04/08/remote-work-home-offices-coronavirus/
Herrman, John. (2020, April 15). The Buy-Nothing Home Office. Diakses dari New York Times https://www.nytimes.com/2020/04/15/style/working-from-home-setup.html
Insituto Monsa de Ediciones. (2008). Architecture Details: Small Office Home Office.

J. Rendra Trijadi
Rendra kepalang tenggelam dalam dunia sastra sejak tergoda mengisi rubrik cerpen dan puisi bulanan di tabloid sekolahnya semasa SMP. Belasan tahun berselang, Rendra masih menjadi penulis bohemian yang konsisten penyempurnaannya, sambil bergerilya dari acara ke acara, peristiwa ke peristiwa, mendalami perilaku demi perilaku masyarakat sebagai jurnalis.

2 Replies to “New Normal: Dari Rumah, Kita Melanjutkan Kehidupan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *