physical distancing
Fitur

Physical Distancing dan Kesehatan Mental

Share this:

Wabah virus korona banyak merubah engsel kehidupan manusia saat ini. Merebaknya virus ini mengharuskan kita untuk physical distancing guna memutus persebaran virus. Mengisolasi diri rumah menjadi anjuran dari pemerintah untuk mengamankan diri kita dan orang-orang terdekat kita. Rumah yang biasanya hanya jadi singgahan ketika istirahat malam, kini menjadi ruang lingkup utama kehidupan kita. Secara fisik, mungkin work from home bisa dilakukan dengan lebih santai dan leluasa tapi sadarkah kamu ada sesuatu yang bergejolak di dalam hati kecilmu. Dia tidak bisa berkata-kata dan dia hanya menunjukkan tanda-tanda tertentu, namanya, mental. Mungkin bagi sebagian orang hal ini merupakan sesuatu yang dirasa sepele atau bahkan tidak penting, tapi kenyataannya bisa berdampak besar bahkan bisa berpengaruh pada kesehatan fisik.

The Lancet melakukan berbagai macam penelitian terhadap penyakit menular dengan proses karantina sejak awal tahun 2000, seperti SARS, Ebola serta H1N1. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa banyak individu mengalami masalah kesehatan mental jangka pendek maupun jangka panjang selama proses karantina. Indikasi yang terjadi yaitu stress, insomnia, kelelahan emosional, cemas, dan lain sebagainya. Hasil dari salah satu studinya tentang wabah equine influenza menyatakan bahwa sebanyak 2.769 orang yang dikarantina 34% atau sekitar 938 orang melaporkan tingkat tekanan psikologis yang tinggi. Lalu sebenarnya kenapa sih masa karantina ini bisa mempengaruhi kesehatan mental kita?

Reaksi Tubuh Untuk Beradaptasi

Kalian mungkin pernah gemetar ketika presentasi di depan banyak orang atau menggigil ketika tubuh merasa kedinginan. Yak, ini adalah salah satu reaksi tubuh ketika menghadapi kondisi yang tidak nyaman. Segala bentuk perubahan di lingkungan hidup kita akan merangsang tubuh untuk beradaptasi, gemetar dan menggigil adalah contoh adaptasi tubuh terhadap kondisi yang tidak nyaman.

Sama halnya dengan fase ini, tubuh kita memerlukan adaptasi untuk terbiasa dengan kondisi yang tiba-tiba berubah. Terbiasa untuk perkuliahan tatap muka, dating sama pacar di pecel lele deket Taman Tirtoagung atau sesederhana menikmati semilirnya angin yang masuk di kaca helm saat naik motor. Berat rasanya secara tiba – tiba harus keluar dari kebiasaan lama itu dan melakukan pergantian sikap. Saat ini, dunia kita  hanya terbatas dinding bangunan rumah saja, ya paling mentok halaman pagar rumah-lah. Reaksi ketidaknyamanan akan perubahan kondisi ini pada akhirnya berdampak pada mental kita, seperti perasaan cemas, takut, insomnia, perasaan lelah padahal kita nggak ngapa – ngapain, dan lain sebagainya.

Bersosialisasi Merupakan Kebutuhan Dasar Manusia

Teori Hierarki Maslow, menunjukkan bahwa kebutuhan akan bersosialisasi (social needs) ditempatkan dalam posisi nomor 3. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa kebutuhan bersosialisasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk membuatnya terus berkembang. Alhasil, ketika proses sosialisasi kita dibatasi, salah satu kebutuhan dasar manusia menjadi tidak terpenuhi. Apabila kebutuhan tidak terpenuhi maka akan ada reaksi – reaksi psikis yang mendorong reaksi tubuh lainnya sebagai penanda ketidakterimaan diri atas tidak terpenuhinya suatu kebutuhan. Contohnya gini deh, ketika kamu butuh banget buat beli beras di warung terdekat karena beras di rumah sudah habis, kamu sudah jalan kaki ke sana tapi ternyata beras yang dijual di warung itu juga habis.

Reaksi kamu pada saat itu akan kecewa atau bahkan sedikit menggerutu, “Sudah capek – capek jalan, eh, berasnya nggak ada.” Nah, sama halnya dengan kondisi saat ini, kebutuhan akan bersosialisasi menjadi tidak terpenuhi dan akhirnya reaksi psikis itu muncul sebagai rasa tidak terima dengan berbagai macam bentuk. Misalnya, perasaan sedih yang tiba – tiba datang bahkan kamu nggak tau kenapa kamu sedih, atau rasa lelah yang berkepanjangan, dan masih banyak lagi. Loh, tapi-kan kita bisa bersosialisasi dengan Sosial Media atau Media Chatting lainnya, harusnya hal ini bukan masalah dong. Ehmmm, betul sih, tapi……. baca dulu nih poin ketiga.

Komunikasi Kurang Optimal

Siapa nih yang udah mulai ngerasa capek ngeliatin layar handphone terus menerus buat berkomunikasi? Atau ngalamin kuliah online dengan sinyal atau sistem yang naudzubillah jeleknya kayak pantat wajan? Kalau gitu selamat datang di  serangkaian kekurangan sistem komunikasisecara tidak langsung. Bahkan bisa saja terjadi misinterpretasi atas komunikasi yang dilakukan dan ujungnya bisa fatal. Kita nggak bisa memungkiri kalau komunikasi secara langsung lebih efektif daripada komunikasi tidak langsung. Melalui komunikasi secara langsung pesan yang disampaikan komunikator ke komunikan dapat tersampaikan dengan lebih sedikit noise atau gangguan. Selain itu, tentunya kita dapat mengkonfirmasi langsung atas pesan yang disampaikan, jadi kemungkinan misinterpretasi lebih sedikit.

Dan satu lagi, visual secara langsung itu turut mempengaruhi persepsi kita akan sesuatu sehingga pesan yang disampaikan bisa turut dikuatkan atau dilemahkan melalui nonverbal communication. Contohnya nih, kalian kaum bucin kalau bilang sayang lewat media komunikasi memangnya puas? Hahaha. Kan jauh lebih enak kalau diungkapin langsung, bisa sambil curi – curi pegang tangannya gitu atau mengusap rambutnya. Nah loh, jadi pada baper kannn.  Ya begitulah, karena komunikasi secara langsung memang nyatanya masih jadi the one and only the most effective of communication, yang kalo kata Marcell Siahaan sih “Takkan Terganti” gitu.

Yup, itulah hal – hal yang secara sadar maupun tidak mempengaruhi mental kita dalam masa karantina ini. Benar ternyata kata Dilan, rindu itu berat tapi kali ini kita harus kuat. Selalu jaga kesehatan dan mari kita berdoa bersama – sama untuk bumi kita supaya wabah ini cepat berlalu.

Referensi :

Isabela Laras Anindyo
Seorang Mahasiswi Semester 6 Universitas Diponegoro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *